Suatu ketika, pikiranku tertuju pada satu hal yang sebenarnya tak pernah aku takutkan sebelumnya. Pikiran ini mulai muncul ketika aku baru menginjakkan kaki di dunia luar. Ke luar dari kampung halamanku tercinta, menuju kota tempatku menimba ilmu. Banyak perbedaan yang ku lihat, antara desa dan kota tempatku tinggal, Amlapura dan Nusa Dua. Di dua kota itu aku menemukan sesuatu yang baru. tak pernah ku temui sebelumnya, budaya-budaya yang sebelumnya belum aku temui secara langsung. Pagi-pagi buta, aku selalu dibangunkan oleh suara orang beribadah yang begitu keras menggelegar, membahana, memecah langit. Pertama kali aku mendengarnya, sedikit risih kurasakan karena suara itu seperti ingin merobek telingaku dari dalam. Namun setelah beberapa lama aku mulai terbiasa, suara itu tak lagi mampu bangunkan tidur lelapku.

Ditengah majunya perputaran roda kehidupan, setiap musim semi berganti para pendatang berbondong-bondong datang ke pulau yang sangat aku cintai ini. Mengisi setiap ruang yang masih kosong diantara penduduk asli, ataupun mendirikan sebuah RT atau RW bahkan sebuah desa khusus diisi oleh penduduk pendatang tersebut. Tentunya yang paling aku tak sukai adalah menamai desa atau kampung tersebut dengan sebutan yang mencirikan agama tertentu. Seolah ingin pamer dan menunjukkan pada tiap orang yang dscn54901melintas di desa tersebut. Mungkin dewasa ini jumlahnya sudah tak bisa dihitung dengan jari lagi. Perkembangannya begitu cepat, tidak bisa dibendung begitu saja. Datangnya mereka, tentu tidak dengan tahan kosong. Masing-masing orang yang datang membawa suatu nilai budaya yang konon berasal dari Timur Tengah. Budaya tersebut mempunyai daya ikat yang sangat kuat dan tak jarang juga menimbulkan suatu kefanatikan dengan budayanya sendiri. Dengan tinggal berdampingan dengan oarang-orang yang berbeda budaya, aku baru dapat merasakan budaya itu dari dekat. Semakin hari rasanya ruang-ruang kosong di Pulau ini mulai sesak oleh para pendatang yang selalu datang tiap tahun. Mengisi sela-sela kehidupan dengan mengandalkan usaha berdagang. Sedikit demi sedikit mereka mampu mengubah pola kehidupan masyarakat pribumi. para pendatang tersebut membawa suatu “barang baru’ dalam perdagangan, dan masayarakat setempat pun menjadi andalan target pemasaran produknya. Seolah masyarakat Bali sendiri tersihir oleh para pendatang itu, entah mengapa dagangan mereka begitu disukai. Mungkin bisa jadi karena mereka menawarkan sesuatu yang baru yang tidak dimiliki oleh para pedagang lokal di Bali. Tentunya yang dapat kulihat dari budaya mereka sendiri, juga menopang keberhasilan mereka merontokkan para pedagang lokal seiring dengan terus bertambahnya orang-orang luar. Mereka cenderung tidak mau membeli produk-produk buatan orang pribumi, utamanya makanan karena mereka menganggap bahwa makanan yang dibuat oleh seorang yang tidak menganut budayanya, dianggap tidak halal. Padahal masyarakat pribumi lebih mementingkan kehieginisan ketimbang pendatang itu. Yang paling menjengkelkan adalah bahwa mereka sendiri menganggap produk mereka layak untuk dimakan, halal, meski pengolahannya hanya sekedar tanpa mengindahkan kebersihan di sekitar. Bayangkanlah jika satu tempat yang biasa digunakan untuk mencuci pakaian terutama pakaian dalam, yang berupa ember dan sejenisnya dipakai juga untuk mencuci bahan-bahan makanan yang akan dijualnya. Betapa kotornya, meski sudah disterilkan dengan cara pemanasan. Tentunya hal itu akan menambah kuman-kuman yang mungkin saja tidak mempan hanya dengan dipanaskan saja. Hal yang paling sadis yang pernah saya temui adalah seorang penjual bakso keliling menaruh celana dalam atau pembalut ke dalam kulai kuah baksonya. Sang penjual berdalih bahwa hal itu akan meningkatkan cita rasa bakso jualannya.

Zaman kini telah berubah, dimana orang dari berbagai macam etnis dan budaya berkumpul menjadi satu dalam suatu bidang tempat mereka mencari sesuap nasi. Salah satu faktor yang paling memungkinkan terjadinya ketertarikan antara satu individu dengan individu yang lain yang berbeda budaya. Di kala satu individu mulai terjerat akan karirnya, mulai melupakan akar budaya yang seharusnya melekat kuat pada pikirannya. Budaya-budaya yang memang dibawanya dari sejak lahir akan mulai terlupakan. Diisi oleh satu budaya yang lebih praktis, yang menjadi daya tarik para individu yang mulai menganggap bahwa budaya dirinya sendiri tidak tepat dengan kondisinya saat itu. Mereka beranggapan bahwa mungkin lebih baik jika hanya pergi ke tempat ibadah seminggu sekali, dengan ritual yang sederhana tanpa perlu banyak-banyak mengeluarkan uang dari pada harus mengikuti budaya Bali yang boleh dibilang ribet bagi sebagian orang yang memang jarang bersentuhan dengan budaya itu sendiri. Dorongan tersebut sedikit demi sedikit membuat beberapa masyarakat setempat memilih untuk berubah haluan, alih-alih untuk memperingan beban hidup yang harus ditempa untuk melakoni budayanya sendiri.

Perkawinan antar budaya kini sudah sangat sering dijumpaidi pulai ini. Begitu derasnya aliran orang-orang yang hijrah ke Bali untuk mencari nafkah tak jarang menemui jodohnya di pulau ini. Sudah biasa wanita-wanita yang dulunya seorang Bali asli, kini hanya menumpang nama memakai nama Bali namun menganut keyakinan yang lain mengikuti suaminya. Banyak dapat kita jumpai dewasa ini, misal sebutlah seorang yang bernama Ni Putu XXXX yang dulunya bersembahyang ke Pura, setelah menikah dengan orang luar tempat persembahyangannya berubah menjadi di tempat orang-orang membangunkanku tiap pagi dini hari. Seiring bergantinya waktu, hal tersebut terus terjadi dengan satu arah tanpa adanya pembalikan arah. Sedikit demi sedikit, orang-orang Bali yang hijrah ke luar pulau pun terkena dampak yang sama. Di luar pulau Bali, orang-orang Bali dianggap memiliki kekayaan yang berlimpah sehingga banyak cewek-cewek Jawa yang mengejar-ejar orang Bali. Tak pelak cara yang tidak halal pun dilakukan. Seperti cerita temanku di IPDN, banyak orang-orang Bali yang menuntut ilmu disana diguna-gunai agar mau menikah dengan cewek-cewek Bandung. Mereka begitu disanjung-sanjung dan diberlakukan bak seorang tamu agung, dikenalkan pada keluarganya dengan amat ramah tamah. Namun dibalik semua itu ada satu tujuan yang boleh dibilang bertentangan dengan aturan untuk memilih sebuah keyakinan. Boleh dikatakan mereka bermaksud untuk memaksakan keyakinannya agar dipeluk oleh orang Bali, menjadi bagian dari keluarganya. Namun dengan cara yang amat halus sehingga tidak dapat dikatakan lagi bahwa mereka memaksakan suatu keyakinan pada orang lain yang menganut keyakinan lain.

Dengan berbagai macam kondisi diatas, bukan tidak mungkin akan terus terjadi suatu ‘invasi’ orang-orang pendatang. Sedikit demi sedikit umat Hindu di Bali berubah haluan meninggalkan sesuatu yang seharusnya memang menjadi garis hidupnya. Bukan tidak mungkin dengan perkembangan global yang amat deras, akan menggerus nilai-nilai budaya yang ada di Bali. Sampai kapankah orang-orang pribumi akan bertahan menghadapi hal ini. Akankah umat Hindu di Bali akan hilang begitu saja…pertanyaan yang selalu muncul dalam hatiku. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa masih memberikan yang terbaik untuk umatnya. Aku yakin, Ida Sang Hyang Widhi akan meluruskan orang-orang yang beralih haluan pada keyakinan yang lain. Astungkara.